
Telepon: (0536) 3221575
Email: dispursip.kalteng@gmail.com
Oleh: Avillia Yufensi Ngagalan dan I Made Juniar Ardika
Soempah Pemoeda
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Apa jadinya jika bahasa Indonesia tidak pernah disepakati sebagai bahasa persatuan? Barangkali, kita tidak akan pernah seia sekata karena tak memiliki “aorta” yang menyatukan bangsa. Seperti aorta yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh, demikian pula bahasa Indonesia menghidupkan bangsa: menyalurkan oksigen persatuan, membangun pendidikan, dan menjaga kedaulatan sejak Sumpah Pemuda 1928 diikrarkan. Ikrar itu bukan sekadar kalimat, melainkan keputusan strategis generasi muda yang melihat bahasa sebagai rumah bersama: tempat setiap anak bangsa kembali untuk memahami dan dipahami. Keputusan itu tidak lahir begitu saja, melainkan melalui proses panjang.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan awalnya ditulis dengan Ejaan Van Ophuijsen (1901). Ejaan ini disusun oleh Charles A. van Ophuijsen bersama Nawawi Soetan Makmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim dengan tujuan menertibkan tulisan bahasa Melayu yang kala itu bervariasi. Walaupun bias fonologi Belanda masih terasa, Van Ophuijsen menjadi fondasi pertama standardisasi bahasa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, standardisasi itu ibarat denah bangunan: tanpa denah yang sama, ruang-ruang pengetahuan akan semrawut. Van Ophuijsen, dengan segala keterbatasannya, menandai awal upaya menjadikan bahasa sebagai alat belajar yang rapi dan dapat diandalkan. Contoh ikoniknya, bentuk penulisan seperti djoega dan tempoe lazim ditemukan di surat kabar dan buku pelajaran pada awal abad ke-20. Bagi masyarakat saat itu, sistem ini memberi pijakan bahwa ilmu pengetahuan bisa ditulis dan diajarkan dalam bahasa Indonesia. Meskipun lahir dari konteks kolonial, ejaan ini berfungsi sebagai jembatan menuju bahasa Indonesia yang lebih mandiri dan sesuai kebutuhan bangsa. Dari sinilah tampak bahwa perjalanan bahasa selalu berdampingan dengan cita-cita pendidikan, yaitu semakin tertib bahasanya, semakin teratur pula penyampaian pengetahuan di ruang kelas.
Seiring Indonesia merdeka, bahasa Indonesia terus beradaptasi. Ia mengalami serangkaian pembaruan ejaan yang tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga politis dan kultural. Setiap penyesuaian ejaan menyiratkan tekad bangsa untuk menegakkan kedaulatan bahasa. Kedaulatan itu menjadi fondasi bagi tumbuhnya pendidikan yang merata, adil, dan berkualitas. Bahasa yang kokoh akan selalu menopang pendidikan yang kuat.
Perubahan Ejaan: Simbol Kedaulatan Bahasa
Perubahan besar pertama pasca-kemerdekaan adalah Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi (1947). Salah satu cirinya adalah perubahan oe menjadi u: goeroe menjadi guru, doeloe menjadi dulu, tempoe menjadi tempo. Sekilas sederhana, tetapi keputusan ini simbolik. Pengelolaan bahasa mulai sepenuhnya berada di tangan bangsa sendiri, bukan lagi mengikuti pola kolonial. Perubahan ini menyederhanakan hubungan antara bunyi dan tulisan sehingga memudahkan pembelajaran membaca dan menulis bagi peserta didik di berbagai daerah.
Dua puluh lima tahun berselang, Ejaan yang Disempurnakan (EYD) 1972 diberlakukan. EYD menyempurnakan banyak hal, seperti dj menjadi j, tj menjadi c, dan nj menjadi ny. Penyederhanaan ini berdampak langsung pada dunia pendidikan. Semakin konsisten kaidah, semakin mudah guru menyusun materi dan peserta didik memahami bacaan. Buku pelajaran di Sabang hingga Merauke memakai ejaan yang sama. Soal-soal ujian lebih mudah distandardisasi. Gerak literasi nasional juga melaju karena hambatan teknis mengecil. Di balik perubahan huruf, ada percepatan pemerataan akses ilmu pengetahuan.
Perjalanan berlanjut. Setelah beberapa revisi pada EYD, pemerintah menerbitkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) pada 2016. PUEBI memperjelas aturan unsur serapan, pemakaian tanda baca, penggunaan huruf kapital dan miring, serta pedoman ejaan yang lebih rinci. Kehadirannya sejalan dengan derasnya globalisasi. Bahasa Indonesia harus adaptif ketika bersentuhan dengan istilah asing di ruang digital, sains, dan teknologi. Pedoman yang jelas mencegah kekacauan campur kode berlebihan, sekaligus menjaga maruah bahasa sebagai penyangga pengetahuan.
Pada 2022, EYD Edisi V ditetapkan sebagai pedoman terbaru. Penetapan ini menegaskan kesinambungan sejarah ejaan Indonesia sekaligus menjawab kebutuhan komunikasi pada era digital yang serba cepat. EYD Edisi V memantapkan arah bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, administrasi, dan ruang publik modern. Di dalamnya, pembelajar mendapatkan rambu-rambu yang lebih mutakhir; pendidik memperoleh pijakan untuk mengajar secara konsisten; dan masyarakat luas memiliki acuan yang sama saat menulis di media massa maupun media sosial.
Jika dipetakan, masing-masing ejaan menandai fase penting perjalanan bangsa.
Di setiap fase, tujuan utamanya sama, yaitu menghadirkan bahasa yang lebih tertib, mudah dipelajari, dan efektif sebagai medium ilmu pengetahuan. Dengan begitu, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga alat kerja intelektual yang bisa diandalkan.
Bahasa Berdaulat: Fondasi Pendidikan Bermutu Hebat
Pendidikan bermutu hebat membutuhkan medium yang jelas. Tanpa bahasa yang tertib, konsep-konsep pelajaran mudah disalahartikan, penalaran kabur, dan penilaian tidak valid. Bahasa Indonesia berdaulat memastikan guru dan peserta didik memiliki “frekuensi” yang sama saat berkomunikasi di kelas. Kaidah ejaan yang konsisten mengurangi ambiguitas dalam buku pelajaran, memperlancar pemahaman bacaan, dan menyejajarkan keterampilan literasi lintas daerah.
Hubungan ini tampak nyata pada beberapa aspek berikut. Pertama, pada kurikulum dan materi ajar. Buku teks, modul ajar, serta asesmen menggunakan bahasa Indonesia baku agar pengetahuan disampaikan secara terukur. Kedua, pada penilaian literasi dan numerasi. Soal-soal harus dirumuskan dengan bahasa yang jelas. Satu kata yang rancu dapat mengubah makna soal dan menurunkan validitas hasil belajar. Ketiga, pada pembelajaran digital. Pada era kelas gabungan luring dan daring, konsistensi ejaan serta tata bahasa penting agar materi mudah ditelusuri, mudah dipindahkan antarsistem, dan mudah diakses oleh peserta didik berkebutuhan khusus melalui perangkat pembaca layar. Keempat, bahasa Indonesia yang tertib memperkuat publikasi ilmiah. Abstrak, laporan penelitian, dan artikel populer sains dalam bahasa Indonesia memperluas jangkauan pengetahuan kepada masyarakat luas, seraya tetap membuka ruang dwibahasa (misalnya abstrak Inggris) untuk jejaring internasional. Kelima, bahasa baku menegakkan keadilan bahasa bagi semua siswa. Di kelas yang multibahasa, bahasa Indonesia menjadi lingua franca yang menjembatani keragaman. Pemakaian lintas bahasa tetap mungkin, tetapi bahasa Indonesia sebagai pengantar utama menjaga pemerataan akses pemahaman.
Dari sisi regulasi, fondasi hukum penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan sangat jelas. UUD 1945 Pasal 36 menegaskan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memperinci kedudukan bahasa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pada dunia pendidikan. Yang kian tegas, Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Pasal 23 menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Ini bukan semata formalitas. Ia memastikan setiap ruang kelas, dari pendidikan dasar hingga tinggi, berjalan dengan bahasa yang sama sehingga kualitas pembelajaran bisa ditingkatkan dan diaudit secara adil.
Implementasi ketentuan tersebut dapat diterjemahkan dalam kebijakan sekolah dan perguruan tinggi, seperti penyusunan dokumen akademik dalam bahasa Indonesia yang baku; pelatihan ejaan bagi pendidik; rubrik penilaian yang mengapresiasi ketepatan ejaan, diksi, dan struktur kalimat; serta kebijakan dwibahasa yang proporsional, bahasa Indonesia sebagai pengantar utama, bahasa asing sebagai pengayaan terarah. Dengan demikian, bahasa Indonesia berdaulat menjadi instrumen kebijakan mutu, bukan sekadar slogan.
Generasi Muda: Penjaga Bahasa, Penggerak Pendidikan
Tantangan era digital nyata di depan mata. Bahasa gaul, serapan tanpa penyesuaian, dan campur kode berlebihan kadang membuat pesan kabur. Namun, generasi muda justru punya modal besar untuk menghadapi tantangan kreativitas, literasi digital, dan jejaring komunitas. Mereka dapat mengubah arus bahasa populer menjadi ruang edukasi yang menyenangkan dan berdampak. Contohnya, komunitas literasi sekolah yang rutin mengadakan klub baca dan bedah buku berbahasa Indonesia. Di ruang itu, siswa berdialog, menilai gagasan, dan berlatih menulis ulasan dengan kaidah ejaan yang baik. UKM jurnalistik kampus mengasah keterampilan menulis berita, opini, dan unsur kebahasaan yang taat kaidah, sekaligus peka terhadap isu masyarakat. Gerakan menulis tiga puluh hari di media sosial mendorong konsistensi menulis dengan aturan baku. Unggahan singkat berisi “kiat ejaan harian” dapat viral, merangkul audiens tanpa menggurui.
Lomba debat dan pidato bahasa Indonesia juga strategis. Debat melatih nalar kritis, penguasaan diksi, dan kecermatan berargumen adalah kompetensi yang menopang mutu pendidikan. Kompetisi esai ilmiah populer menjembatani sains dan publik. Ketika kaidah bahasa kuat, sains menjadi mudah dipahami, tidak eksklusif, dan relevan bagi masyarakat. Bahkan, kreator konten edukasi bisa menjadi duta bahasa yang efektif. Video pendek tentang komedi ejaan, kuis tanda baca, atau kisah asal-usul kata mampu menarik perhatian jutaan penonton sekaligus menanamkan kebanggaan berbahasa Indonesia.
Di sisi lain, generasi muda perlu sensitif terhadap sinergi bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Keduanya bukan lawan. Bahasa daerah adalah kekayaan yang memperkaya kosakata, ekspresi budaya, dan cara pandang. Bahasa Indonesia menjadi payung komunikasi lintas suku, sedangkan bahasa daerah tetap dirawat di ruang keluarga, budaya, dan muatan lokal. Sinergi ini membuat identitas nasional kokoh sekaligus menghormati akar lokal, sebuah harmoni yang selaras dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Generasi muda juga memegang peran advokasi. Mereka dapat mengawal pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019, serta Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia di lingkungan pendidikan. Implementasinya dapat berupa memastikan papan nama, dokumen akademik, dan materi ajar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pada akhirnya, bahasa, pendidikan, dan pemuda membentuk segitiga emas. Bahasa memberi arah dan kaidah, pendidikan menyediakan ruang tumbuh ilmu, dan pemuda memberi energi perubahan. Bila satu sisi rapuh, dua sisi lain goyah. Karena itu, merawat bahasa Indonesia, terutama ketertiban ejaan dan kejernihan kalimat adalah investasi jangka panjang mutu pendidikan kita.
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang menyatukan identitas bangsa seperti “aorta” yang mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh. Sejak Sumpah Pemuda 1928, perjalanan ejaan dari Van Ophuijsen, Soewandi, EYD 1972, PUEBI 2016, hingga EYD Edisi V 2022 menunjukkan bagaimana bangsa ini terus menegakkan kedaulatan bahasa sambil menyesuaikan diri dengan zaman. Setiap perubahan ejaan bukan sekadar pergantian huruf, melainkan strategi kebudayaan dan pendidikan agar ilmu pengetahuan dapat disampaikan secara rapi, adil, dan mudah dipahami oleh seluruh anak bangsa.
Sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa pengantar pendidikan, bahasa Indonesia memastikan kesetaraan akses ilmu pengetahuan. Kedudukannya telah dijamin secara konstitusional dan yuridis sehingga penggunaannya di ruang kelas bukan pilihan, melainkan kewajiban. Dengan kepastian ini, sekolah dan perguruan tinggi memiliki legitimasi kuat untuk membangun budaya akademik yang tertib bahasa, tertib penalaran, dan tertib penilaian.
Di tengah arus globalisasi, tugas menjaga bahasa justru semakin penting. Dunia digital menuntut kecepatan; kaidah bahasa menuntut ketelitian. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Dengan EYD Edisi V sebagai pedoman, kita bisa bergerak lincah sekaligus tertib. Generasi muda dapat menjadi teladan dengan menulis sesuai ejaan yang benar, berbicara santun dan jelas, serta mengampanyekan kebanggaan pada bahasa Indonesia di berbagai tempat. Bahasa baku bukan berarti kaku; ia bisa hidup, kreatif, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Bahasa Indonesia hari ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi sarana membangun kesadaran bersama sebagai bangsa. Dari ruang kelas hingga ruang digital, dari desa hingga kota, ia menghadirkan kesetaraan akses pengetahuan. Ketika bahasa dijaga kedaulatannya, pendidikan pun memperoleh pijakan yang kuat untuk melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter. Dengan begitu, bahasa Indonesia tetap berdenyut sebagai “aorta” bangsa, mengalirkan ilmu, nilai, dan harapan menuju masa depan.
Referensi
Dewa, W. (2023). ANALISIS PERKEMBANGAN EJAAN BAHASA INDONESIA DI DALAM MASYARAKAT SUMBAWA. Academia.
Disdikpora Buleleng. (2024). Generasi Muda Menjaga Eksistensi Bahasa Daerah. Diakses dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Buleleng.
In R. Arsyad, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Istana Media (2020).
Moeliono, A. M. (1988). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Depdikbud.
Nuryadi. (2002). Bahasa dalam Masyarakat: Suatu Kajian Sosiolinguistik. Jurnal OKARA Vol. I , 93.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). (2022). Diambil dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109.
Republik Indonesia. (2019). Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 146.
Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 85.
Sihombing, A. R. D., Sianturi, A., Butar-Butar, F. K., & Surip, M. (2024). Peran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan di era globalisasi. Jurnal Sadewa: Publikasi Ilmu Pendidikan, Pembelajaran dan Ilmu Sosial, 2(3), 9–18.
Sunaryo, O. (2024, Maret 18). Peran Raden Soewandi dalam Pembentukan Ejaan Republik Indonesia. Retrieved from Koropak.
UNICEF. (2022). Panduan Advokasi Orang Muda [Versi Bahasa Indonesia]. Diakses dari UNICEF Youth Action Guide.
Pencarian berita untuk mendapatkan informasi terbaru.
Leave Your Comments