Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Kalimantan Tengah
Jl. Ade Irma Suryani No. 11, Palangka Raya
Tlp. (0536) 3227726 – Fax. (0536) 3221575
Cetakan Pertama, September 2023
Gambar Sampul:
Ilustrasi buku “Ngaju Religion” The Conception of God Among A South Borneo People
by Hans Scharer, The Hague-Martinus Nijhoff – 1963, Koninklijk Instituut Voor Taal, Land- End Volkenunde,
Translation Series 6
Penerjemah: Febrina Natalia
Perancang Sampul, Penata Letak: Empas
Penyunting Naskah: Rody Sangen, Karlina Batik
Sinopsis :
Buku “Fishing, Hunting, and Headhunting in the Former Culture of the Ngaju Dayak in Central Kalimantan” ditulis dalam bahasa Dayak Ngaju oleh tiga penulis lokal Kalimantan Tengah yaitu Ison Birim (1902-1964), Numan Kunum (1906-2000) dan Katuah Mia. Ison Birim dan Numan Kunum menulis naskah di tahun 1938 sementara Katuah Mia menuliskan naskahnya di tahun 2002. Naskah dari ketiga penulis ini kemudian disunting dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.H. Klokke dan diterbitkan oleh Borneo Research Council pada tahun 2004.
Buku ini terbagi dalam 4 (empat) bab yaitu: bab 1. Gawi Malauk Marak Utus Dayak (Fishing among the Dayak) ditulis oleh Numan Kunum, bab 2. Gawi Mampatei Meto Marak utus Dayak (Hunting Animals among the Dayak) ditulis oleh Numan Kunum, bab 3. Gawi Mampatei Meto Marak utus Dayak (Hunting Animals among the Dayak) ditulis oleh Katuah Mia, dan bab 4. Auch Helo Tahiu Mangayau (The Story About Headhunting) ditulis oleh Ison Birim. Buku ini menceritakan tentang kebudayaan, kepercayaan dan kehidupan suku Dayak Ngaju di masa lampau, khususnya budaya menangkap ikan, berburu serta mangayau.
Buku ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mengingat saratnya muatan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Dayak Ngaju di masa lampau terkait teknik-teknik menangkap ikan, berburu binatang dan mangayau yang harus dipahami oleh generasi sekarang dan masa yang akan datang terkait kebudayaan nenek moyang dan identitas diri. Teknik-teknik menangkap ikan dan berburu di masa lampau menjunjung tinggi nilai-nilai keberlanjutan lingkungan hidup dan alam yang saat ini sudah mulai ditinggalkan.
Teknik menangkap ikan dalam suku Dayak Ngaju masa lampau yang dibagi menjadi dua teknik yaitu menangkap ikan besar dan menangkap ikan kecil. Teknik yang digunakan untuk menangkap ikan di kalangan suku Dayak Ngaju di masa lampau adalah teknik maneser (menyelam), memancing, manirok, malampam, marisai, manjujut, mahanyer, maluntang, manaut, manajua, marawai, manyuar, manyawau, manurak, mamatak, munam, mangarohi, manuwe, manyaing, malanggean, manjala, marengge, mamukat, dan mamasat. Sementara peralatan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan adalah bowo, takalak, pasuran, pangilar, satawan, tuwong, siap, rangkep, sauk, nyarung, tokong, dan salambau.
Selain itu, bermacam-macam peralatan berburu yang digunakan di masa lampau adalah dundang, saketong, jarat, sambulut, songga, tambowong, katapel, dan senapan panah. Teknik yang digunakan untuk berburu adalah mandop, mengan, dan mahurung. Selain berbagai teknik dan peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan dan berburu di masa lampau, terdapat tabu dan pantangan yang harus dihindari saat menangkap ikan dan berburu. Tabu dan pantangan ini erat kaitannya dengan kepercayaan suku Dayak Ngaju zaman dulu yang mayoritas menganut kepercayaan animisme.
Kebudayaan suku Dayak Ngaju di masa lampau yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah mangayau. Tujuan mangayau bukan semata-mata untuk membunuh orang melainkan dengan suatu tujuan yaitu: mengambil kepala manusia untuk digunakan di ritual tiwah. Tata cara mangayau tidak sembarangan; diperlukan persyaratan khusus terkait siapa saja yang boleh mangayau, kapan dan di mana serta peralatan apa saja yang harus dibawa. Hal yang tidak kalah penting sebelum dan sesudah mangayau adalah tabu dan pantangan yang harus dipatuhi. Tidak hanya orang yang berangkat mangayau yang harus menabukan pantangan, bahkan keluarga yang tidak ikut berangkatpun harus menabukan sampai mereka yang berangkat mangayau kembali pulang membawa kepala. Tidak sampai di situ, setelah selesai manganyau, diadakan pesta besar-besaran untuk menyambut para pangayau yang pulang membawa kepala; pesta itu disebut “taharang”.
Leave Your Comments